Anak muda selalu saya andaikan
sebagai seorang yang masih punya banyak kesempatan, kulit kencang, rambut
hitam, sorot mata tajam, punya idealism, punya cara pandang jernih, terhadap persoalan,
semangat membara, dan tentu saja penuh optimism menghadapi hidup. Itulah
rumusan serampangan, setidaknya yang hidup dalam benak saya ketika berhadapan
dengan kata “muda” tadi.
Dalam pada itu, anak muda adalah
tangan yang gemetar meraba masa depan yang belum pasti diterima, dalam
kegamangan figure dan idola. Sebagian lagi tenggelam dalam jarum suntik dan
penggunaan narkotika. Sementara yang masih berseragam sering juga terlibat pada
kemarahan kolektif-kadang tidak jelas sebabnya baku hantam, ayun celurit
dijalan raya.
Potret lain anak muda hari ini
dilayar kaca adalah anak-anak kamu menengah atas yang hobi ngebut di jalan raya
dengan motor gede yang dibeli dengan duit orang tua. Seringkali sedih oleh
asmara segitiga dan sebagainya, dan seterusnya. Sebagian lagi, anak muda turun
ke kampong-kampung mengajar di pulau-pulau terluar, lokasi-lokasi terdalam dan
kampong-kampung terpencil. Satu dua tahun mereka mengabdi dan berbagi ilmu
untuk anak anak bangsa yang jauh akses pendidikan.
Sungguh warna-warni potret anak
muda dikepala saya. Barangkali potret anak muda tadi ada juga dikepala sebagian
hadirin sekalian.
Berbicara mengenai perkembangan
kebudayaan di Banten, bagi saya selalu terkait dengan proses, dan proses
tersebut selalu setali tiga yang dengan regenerasi, dan regenerasi tidak bisa
begitu saja terlepas dari soal pemuda sebagai ahli waris yang sah kebudayaan
tersebut.
Saya akan singgung sedikit
disini, kebudayaan sendiri dalam pengetahuan saya merupakan nomina yang merujuk
dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Sedangkan kebudayaan merupakan hasil kegiatan dari olah batin (akal
budi) manusia. Saya menyebut “olah batin” ini sejurus dengan dengan bahasa
inggris yang menyebut kebudayaan sebagai culture, yang asal katanya berasal
dari kata latin, colere, yaitu “mengolah” atau membalik tanah. Bisa diartikan
juga sebagai bertani.
Maka kebudayaan oleh para ahli
sering ditempatkan pada hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia yang tampak
dalam system kepercayaan, bahasa, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan dalam
pada itu, juga disebut sebagai keseluruhan perangkat pengetahuan manusia
sebagai makhluk social untuk memahami lingkungannya.
Definisi kebudayaan ini tentu
membuat kaum agamawan kita saat ini kecut, sebab posisi manusia diletakkan
sebagai pusat (antroposentrins) dari aktivitas lahirnya sebuah kepercayaan.
Bahwa agama merupakan produk olah batin manusia karena manusia membutuhkan
sandaran dan perlingdungan dari alam yang seringkali tidak bisa sepenuhnya
ditundukkan. Dari situ maka manusia membutuhkan agama dan menciptakan dari
imajinasinya tentang yang kuat dan yang kekal.
Banyak tulisan yang sudah kit
abaca menuliskan bahwa dalam perjalanannya, kebudayaan di Banten mengalami
beberapa fase mulai dari masa Hindu-Budha hingga masa islam masuk dan menjadi
agama yang banyak dianut sebagian besar penduduknya. Para arkeolog seringkali
punya kesimpulan bahwa Banten punya cantelan dengan kebudayaan masyarakat pra
sejarah melalui benda-benda kuno yang ditemukan disejumlah tempat di Banten.
Ada juga yang membuat Banten memiliki kerajaan tertua yang sering disebut-sebut
dengan Salakanagara atau Negeri Perak (130 M).
Rentang tugas yang jauh ke masa
silam tersebut menunjukkan bagaimana Banten masuk fase masa kesultanan di awal
abad ke-17. Tidak berhenti disitu sejarah terus berlanjut dari Banten masa
kesultanan hingga Banten menjadi provinsi dibawah naungan NKRI. Bukankah ini
butuh pemaparan yang panjang dan saya tidak yakin pemahaman saya mumpuni untuk
menjeleaskan kepada para hadirin sekalian.
Saya tidak akan membawa
saudara-saudara tenggelam di masa silam. Sebab kita hidup hari ini. Dan berbicara
keberlangsungan kebudayaan hari ini, kita bisa menakarnya melalui
pencapaian-pencapaian anak muda di dalamnya. Apakah Banten hari ini punya
remaja usia 15 tahun yang berangkat mengaji dan menunaikan haji ditanah suci? Adakah
juga seorang remaja terpanggil mengikuti remaja 13 tahun bernama Husein
Jayadiningrat dari Kramatwatu Serang, berangkat ke Leiden menimba ilmu?
Kelak keduanya diakui dunia
sebagai ilmuan tersohor yang karya-karyanya menjadi referensi para cerdik
cendekia, tidak hanya Banten tapi seluruh dunia. Tidak sepenuhnya tepat memang
jika membandingkan pemuda di Banten dengan era kedua maestro sebelumnya. Menjadi
pemuda di Banten hari ini merupakan hal yang sulit dan punya banyak tantangan.
Banyaknya tantangan tersebut hingga membuat pemuda di Banten ada yang lolos
tapi banyak juga yang frustasi.
Menjadi pemuda Banten hari ini
harus tangkas menghindar jerat pasar narkoba dikirim dari Malaysia melalui jalur
Selat Sunda. Menjadi Pemuda di Banten harus tabah dihadapan rayuan tindak
asusila. Menjadi pemuda di Banten harus rela memalingkan mata dari tontonan
film porno ynag bisa diakses setiap saat dari ponsel pintar yang kelewat
pintar. Menjadi pemuda di Banten harus merih ditengah serbuan diskon iklan yang
terpampang di tiap pojok etalase kaca. Menjadi pemuda di Banten harus peka
ketika hanya dibandrol dalam agenda politik praktis yang sementara. Menjadi pemuda
di Banten harus rela ketika penampilannya tidak senecis pemuda-pemuda Kota
Jakarta yang saban hari tayang dilayar kaca.
Menjadi Pemuda di Banten harus
sabar menghadapi buku berjam-jam lamanya hanya untuk mendapatkan sepotong kata.
Menjadi Pemuda di Banten harus bekerja nyata disaat yang lain sibuk dengan
upaya mengejar citra. Menjadi Pemuda di Banten harus berani ketika yang lain
membebek diruang antre jam tayang telenovela. Menjadi Pemuda di Banten harus
punya karya nyata di saat yang lain
hanya bisa netek di ketiak orang tua. Alangkah sulitnya menjadi pemuda di
Banten.
Penulis: Wahyu Arya, Penerima Penghargaan Banten Muda Award 2013
Sumber: Parade Orasi, Banten Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar